Jodoh tak dapat diprediksi, jodoh juga tak dapat dikendalikan. Karena ia akan datang menghampiri dengan caranya yang unik. Sekuat
dan sekeras apa pun manusia berusaha, jika ia bukanlah jodoh yang
ditakdirkan Tuhan, maka ia pun akan menjauh dengan cara yang cepat
ataupun dengan cara perlahan sampai kemudian ia diterima sebagai
sebuah takdir
Cinta yang bersemi indah kala remaja disebut banyak
orang sebagai cinta monyet. Cintanya anak ingusan yangj jarang
berlanjut hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Cinta yang datang dan
pergi ini kemudian memang terbukti hanya sebatas perasaan. Karena ia
tak pernah berkembang sampai ke tingkat yang lebih serius. Kata pacaran
tak ada dalam kamus hidupku. Ia hanya sebatas cinta semusim. Seiring
bertambahnya usia, saat minatku terhadap issue-issue agama mulai
berkembang, aku pun mulai membatasi rasa tertarikku kepada lawan jenis.
Sebagai kompensasinya, kami hanya menjadi sebatas teman saja. Tak pernah
lebih. Kalaupun kemudian aku tetap menaruh perhatian pada satu dua
orang dari mereka, aku berusaha meletakkannya dalam bingkai agama, yang
sedapat mungkin tidak keluar dari koridor norma-norma pergaulan yang
sehat.
Model pergaulan era tahun 90-an yang diwarnai
banyak kelompok-kelompok diskusi keagamaan, menyertakan kami dalam
proses perkembangannya. Sehingga nyaris tak ada kegiatan kampus yang
kami lakukan tanpa nuansa keagamaan. Mulai kegiatan intra kampus hingga
yang ekstra kampus. Dan bangunan rasa yang terjalin diam-diam di antara
segelintir aktivisnya pun tak lepas dari warna-warni tersebut. Akhirnya
terjadilah sebuah siklus lingkaran setan, antara para aktivis keagamaan
dengan tujuan berorganisasinya itu sendiri. Karena tak dapat
dipungkiri, banyak yang masuk organisasi ekstra kampus dengan tujuan
ingin merasakan kedekatan khusus dengan para aktivisnya. Sementara para
aktivis yang telah berkecimpung di dalamnya menjadi lebih semangat
karena dinamika pertrainingannya yang selalu melakukan perekrutan dari
waktu ke waktu.
Aku menjadi salah satu bagian dari skenario umum
tersebut. Aku ikut perkaderan pada sebuah organisasi kemahasiswaan
bernuansa Islam pada saat masih duduk di semester tiga. Pada saat
pengalaman menjadi mahasiswa belum lagi banyak. Akhirnya atas ajakan
seorang teman untuk ikut perkaderan tersebut, maka aku pun tertarik
untuk masuk.
Dalam masa-masa tersebut, di saat aku mulai
konsentrasi dengan organisasi dan kuliah, mulailah muncul
gangguan-gangguan. Baik gangguan serius dari keluarga yang mengajak
nikah, sampai gangguan kecil-kecil dari teman-teman dalam organisasi
yang memberikan perhatian-perhatian yang ‘tidak biasa’. Semua masih
kutanggapi dengan perasaan yang biasa saja, meski kadang dipenuhi
bunga-bunga. Yang pasti kalaupun kemudian aku menolaknya, itu kulakukan
dengan cara yang sesantun mungkin. Sehingga tak ada hati yang terluka
karenanya.
Di antara alasan kenapa aku menolak, adalah karena
aku masih ingin serius kuliah. Saat itu aku masih semester 4, dan
sementara menduduki jabatan yang cukup bergengsi pada organisasi ektra
kampus tersebut. Meski aku aktif mengikuti banyak event organisasi baik
yang diadakan di dalam kota maupun yang diadakan di luar pulau, aku
masih tetap memiliki prestasi akademik yang bagus.
Hingga kemudian aku dipertemukan dengan seseorang
yang saat itu tak pernah terlintas sedikitpun jika ia akan menjadi
jodohku kelak. Ia seorang petinggi organisasi yang disegani baik karena
idealismenya maupun karena gagasan-gagasannya. Pertanyaannya sangat
sederhana ketika ia minta bantuan teman-temannya untuk mencarikannya
seorang calon pendamping, hanya dengan satu syarat. Perempuan tersebut
pintar, dan itu ditandai dengan kesukaannya terhadap buku dan membaca.
Oleh mak comblangnya, akulah yang dijadikan satu-satunya pilihan.
Indikatornya saat itu sangat sederhana. Ketika di kemudian hari, aku
menanyakan padanya atas alasan apa ia memilihku? Dengan enteng ia
menjawab, karena kamulah satu-satunya di antara perempuan-perempuan itu
yang suka membaca. Dan itu ditandai dengan seringnya kamu membawa buku.
Haaa??? Sesederhana itukah? Aku pun tersenyum bahagia dalam hati.
Anugerah terindah
Secara fisik ia biasa saja. Namun
bukankah keindahan rupa dan penampilan itu adalah relatif? Dan aku
bersyukur dikaruniai kemampuan pandangan yang melampaui pandangan fisik.
Aku mencintai pikirannya. Aku mencintai ketegasan dan kemandiriannya.
Ia seorang orator yang terkadang garang jika berbicara di depan forum
dan di jalan-jalan pada saat turun berdemonstrasi. Ia punya nama bukan
karena kemampuannya ‘mencari muka’ di kalangan birokrat kampus. Namun ia
dikenal karena idealismenya yang tak tergoyahkan meski harus berunjuk
rasa ‘mogok makan’ saat menolak banyak kebijakan pemerintah pada saat
itu.
Akhirnya keberanian kami berdua membangun sebuah
keluarga kecil pada saat usia kami berdua masih terbilang muda. Aku yang
saat itu baru menginjak usia 21 tahun, dan ia baru menginjak 25 tahun.
Kami memutuskan menikah saat pekerjaan tetap pun ia belum punya, karena
ia masih berstatus mahasiswa saat itu. Dengan bemodal nekat dan
keinginan kuat untuk berwirausaha, (dari dulu tak pernah berminat
menjadi seorang PNS), kami memulai usaha sendiri dengan membuka toko
buku di tahun 1993, beberapa bulan setelah kami mengikrarkan janji untuk
bersama.
Kami berdua yang punya banyak kesamaan khususnya
dalam dunia buku dan ilmu pengetahuan mulai merangkak mencari-cari
pegangan dan panduan yang pas dalam membina rumah tangga kami. Aku yang
hobi membaca mulai mengarahkan bacaan pada bagaimana membangun rumah
tangga yang sakinah mawaddah, bagaimana cara mendidik anak yang sesuai
dengan tuntunan agama, dan lain-lain. Sementara dia asyik berkecimpung
dengan pemikiran-pemikiran social dan aksi pergerakan kemahasiswaan, aku
menghabiskan banyak waktu untuk membaca banyak buku psikologi dan
pengasuhan anak dalam waktu singkat. Mengingat waktu yang makin
mendesak, saat proses regenerasi sudah semakin dekat.
Sejujurnya, aku meninggalkan banyak kenangan indah
tentang cinta pada masa-masa yang lalu. Namun cinta yang kami bangun
saat ini adalah cinta yang berbeda. Karena ia terjalin bukan karena
pandangan pertama ataupun karena kedekatan hubungan antara satu dengan
yang lainnya. Namun ia terjalin atas dasar cinta pada sunnah Allah dan
pada kesamaan visi yang terbangun di antara kami. Selanjutnya, kami
berdua banyak berguru pada buku, pengalaman orangtua dan lingkungan,
serta hasil diskusi dengan banyak sumber. Terus belajar, berguru kepada
siapa pun, dan di mana pun, menjadi sebuah prasyarat penting untuk bisa
lebih baik dari hari ke hari .
0 Response to "Aku Mencintai Pikirannya"
Posting Komentar